Rabu, 10 Mei 2017

HADITS TENTANG DAKWAAN PEMBUKTIAN DAN PERDAMAIAN



MAKALAH HADITS HUKUM KELUARGA
“TENTANG DAKWAAN, PEMBUKTIAN DAN PERDAMAIN”


DISUSUN OLEH
KELOMPOK : 6
NAMA :                                         NIM :
ENDANG SAKINA WATI  1502121396               
YUNIARTI                            1502121379
IIN HIDAYATUL AULIA   1502121393


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2017/2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Tidak dapat di pungkiri bahwa setiap manusia pastinya memiliki suatu perselisihan yang terjadi di antara umat manusia. Di mana setiap manusia menuntut sesuatu terhadap orang lain. Terutama umat islam, sehingga sangat dibutuhkan suatu hukum yang dapat mengatur jika terjadinya suatu perselisihan antara sesama manusia.
`           Di samping itu, Rasulullah memberitakan tentang tingkah laku manusia yang apa bila di biarkan tanpa hukum yang mengatur dan dibebaskan untuk mendakwa secara sembarangan, maka tentu setiap orang akan melakukan hal itu tanpa haq. Oleh karena itu setiap manusia dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antara ummat manusia, islam telah memberikan beberapa konsep dasar untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
            Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tetapi tentu saja pada tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian dakwaan, pembuktian, dan perdamain, namun setidaknya apa yang akan di paparkan disini dapat memberikan gambaran tentang seluk beluk dakwaan, pembuktian, dan perdamaian. Pada bagian akhir tulisan ini, penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh setiap manusia untuk selalu “Mendamaikan” umat muslim di muka bumi ini dengan hukum-hukum islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan hadis Dakwaan, Pembuktian, dan Perdamaian?
2. Apa saja macam-macam pembuktian?
3.  Bagaimana Kandungan  pemahaman hadis dan tinjauan rawi hadis?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dan Hadis Tentang Dakwaan, Pembuktian, dan Perdamaian!
2. Untuk Mengetahui Apa saja Macam-Macam Pembuktian
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Kandungan Pemahaman Hadis dan Tinjauan Rawi Hadis

BAB II
PEMBAHASAN

A . Dakwaan dan Pembuktian
            Kata “Dakwa” atau “Dakwaan” asalnya dari bahasa arab, yaitu dari kata “Da’wa” (bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘awa). Yaitu, menyandarkan ( mengklaim) kepemilikan sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggung jawab orang tersebut kepada dirinya.
            Hadits tentang Dakwaan dan Pembuktian:
عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ : لَوْيُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَرِجَالٍ وَأَمْوَالَه وَلَكِنَّ الْيَمِيْنَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ. [متفق عليه]
“Dari Ibnu Abbas ra. Bahasanya Nabi SAW bersabda : seumpamanya orang-orang diberi sesuatu hanya cukup dengan dakwaan mereka, niscaya orang-orang mendakwakan darah dan harta orang lain akan tetapi bagi yang didakwa berhak bersumpah.
Menurut asbabul wurudnya, ada dua orang yang berperkara dan keduanya berani angkat sumpah, untuk itu hak sumpah masing-masing di adakan pilihan, maka siapa yang terpilih atau keluar undiannya itulah yang berhak angkat sumpah dan di nyatakan menang atau benar perkaranya
Hadits di atas menjelaskan mengenai penyelesaian kasus perselisihan yang terjadi di antara dua orang yang salah seorang di antara mereka )(اَلْمُدٌعَى mengaku bahwa haknya terampas oleh yang lainnya (اَلْمُدَّعى عَلَيْهِ). Berkenan dengan hal ini, Nabi SAW. Menjelaskan bahwa orang yang mengaku bahwa haknya terampas oleh orang hendaknya dia memberikan bukti (اَلْبَيِّنَةُ) yang dapat membenarkan dan menguatkan pengakuannya itu. Apabila orang yang mengaku haknya terampas tidak dapat memberikan bukti-bukti tersebut, hendaknya orang yang tertuduh merampas hak itu menyampaikan sumpah untuk menolak apa yang dituduhkan kepadanya sehingga sumpah berada di pihaknya. Keberadaan sumpah tersebut dapat menguatkan posisinya sebagai orang yang terbebas dari tuduhan.
Hukum-hukum pembuktian (Ahkam al-hayyinat) sama seperti halnya hukum-hukum islam lainnya, merupakan hukum-hukum syara’ yang di gali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Bayyinat (pembuktian) kadang-kadang terjadi pada kasus pidana (‘uqubat), kadang-kadang terjadi pula pada kasus-kasus perdata (mu’amalat).
Bukti adalah, semua hal yang  bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaanya.
Macam-macam Pembuktian:
1.      Pengakuan
2.      Sumpah
3.      Kesaksian
4.      Dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan.
            Adanya bukti dipihak yang mengaku haknya terampas dan adanya sumpah di pihak orang yang tertuduh mengandung hikmah bahwa seandainya semua orang yang mengaku-ngaku itu di berikan kesempatan untuk memperoleh apa yang diakuinya tanpa ada bukti dan begitu pula orang yang tertuduh mengelak tuduhan tersebut tampa ada sumpah, maka orang-orang yang merasa tidak diawasi oleh Allah dan tidak merasa takut kepada siksa-nya akan merampas hak orang lain dengan sekehendak hatinya, baik hak berupa kekayaan maupun jiwa.
Namun demikian, Allah yang maha bijaksana dan maha mengetahui telah menetapkan berbagai aturan dan sanksinya bagi orang-orang yang menganggap remeh terhadap masalah kejahatan perampasan hak orang lain sehingga tidak mudah bagi seseorang untuk mengaku dan menolak sekehendak hatinya. Dengan berbagai aturan dan berbagai sanksinya itu.
     Menurut Ibnu Daqiq Al-‘id, hadits diatas menunjukkan bahwa penetapan hukum harus ditentukan berdasarkan ketetapan syara’, meskipun seorang mudda’i lebih mengarahkan pada kebenaran terhadap pengakuannya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dari Rasulullah SAW dengan lafaz:
ولِلْبَيْهَقِيِّ بِاسْنَادٍ صَحِيح : اَلبَيِّنَةُ عَلَى اَلْمُدَّ عِي , وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرِ
Menurut riwayat Baihaqi dengan sanad shahih:“Bukti itu (wajib diadakan) bagi penggugat dan sumpah itu (wajib dilakukan) bagi orang yang ingkar. ( HR. Al-Baihaqi).
Hadis ini kedudukannya besar sekali. Merupakan sumber dasar peradilan dan hukum, dimana peradilan antara manusia itu hanya ada ketika terjadi perselisihan, seseorang mengaku bahwa sesuatu itu merupakan hak-nya, tetapi kemudian diingkari oleh lawannya. Atau seseorang mengaku bebas dari suatu tuntutan yang dikenakan padanya.
Nabi SAW menjelaskan hukum pokok yang dapat memecahkan perselisihan diantara mereka, sehingga jelas siapa yang melakukan kebenaran dan siapa yang melakukan kebatilan. Orang yang mengaku memiliki suatu barang, menuduh seseorang berutang, menuntut suatu hak dan akibat-akibatnya pada orang lain, namun orang yang dituduh itu mengingkarinya, maka asal pokok barang-barang itu adalah milik orang yang  mengingkari tersebut. Orang yang menuduh (menggugat) ini apa bila dapat mendatangkan bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran pemilikannya. Sedangkan apabila tidak memperoleh bukti-bukti, maka ia bukan pemilik barang yang dikuasai orang yang digugat itu, kecuali setelah disumpah yang merupakan alat pembuktian pula.
Begutu pula orang yang terbebas dari kewajiban yang harus ditanggungnya dan diingkari oleh pemegang hak (tergugat), dengan katanya “ia tetap merupakan tanggungjawabnya”, maka apabila penggugat memiliki bukti-bukti bahwa ia telah menunaikan (kewajiban itu), maka ia bebas. Sedangkan apabila tidak ada bukti, maka orang tersebut tetap berkewajiban menunaikan tanggungannya karena itu merupakan asal pokoknya. Tetapi, si pemegang hak (tergugat) itu juga harus disumpah atas tetapnya kewajiban itu.
Begutu pula halnya dalam menuduh adanya aib (cacat) , syarat dan waktu, semuanya termasuk dalam masalah ini. Maka diketahui bahwa hadits ini mengharuskan para hakim untuk memutus masalah peradilan seluruhnya karena bukti-bukti merupakan alat bagi penjelas kebenaran dan ia berbeda sesuai dengan berbedanya hak dan kewajiban. Para ulama telah merincinya dalam buku-buku mereka.
B. Perdamaian
Sebelum masuk ke Hadits tentang perdamaian ada baiknya jika kita mengetahui apa itu perdamaian.
Secara etimologi adalah memutuskan pertikaian. Dan secara terminelogi perdamaian adalah melakukan perjanjian yang menghantarkan kepada kesepakatan diantara kedua belah pihak yang bertikai demi memutusakan pertikaian.
Dan perdamaian dibolehkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ ulama’ dan Qiyas. Seperti firman allah SWT. “ dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (Qs, An-Nisa’ : 128)
Dan terdapat pula hadits dalam sunan At-Tirmidzi dari hadits Abu Daud, sesungguhnya Nabi saw bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ اْلمُزَنِبِّى رَضِييَ اللّهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ قَالَ: الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ اْلمُسْلِمِيْنَ إِلَّاصُلْحًا حَرَّمَ حَلَا لاًأَوْأَحَلَّ حَرَا مًا, وَاْلمُسْلِمُوْنَ عَلَ شُرُوْ طِهِمْ اِلَّاشَرْطُاحَرَّمَ حَلَا لاً أَوْأَحَلَّ حَرَامًا.
     Diriwayatkan dari Amru bin auf al mazni Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,  “Perdamaian ( membuat kesepakatan) itu di perbolehkan diantara orang-orang muslim, kecuali perdamaian (kesepakatan) untuk mengharamkan sesuatu yang halal atau mengahalalkan sesuatu yang haram. Orang-orang muslim (dalam perdamaian tersebut) bergantung pada syarat-syarat mereka, kecuali satu syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.”
(Hadist riwayat At Tirmidzi  dan dia menilainya sahih, tetapi ahli hadist mengingkari hadist ini, karna seorang rawinya bernama Katsir bin abdullah bin amr bin auf dianggap perawi yang lemah).
1.      Kajian kebahasaan  yakni semua perdamaian, kecuali yang terlarang yaitu perjanjian menghalalkan yang haram dan mengaramkan yang haram.
2.      Ini adalah ungkapan khusus yang sebenarnya berlaku bagi semua orang, baik orang-orang muslim maupun non muslim. Pengkhususdan objek syara’ terhadap kaum muslimin ini di karenakan mereka itulah yang di bicarakan untuk merealisasikan titah-titah alquran dan sunnah.
3.      Seperti perdamaian kesepakatan suami istri untuk tidak menggaulinya.
4.      Seperti perdamaian dan kesepakatan untuk menggauli seorang hamba yang tidak boleh di gauli.
5.      Yakni mereka harus konsisten dan konsekuen dalam perdamaian berdasarkan persyaratan tersebut dan tidak boleh berpaling darinya
Berkenaan dengan pembinaan persaudaraan dan perdamaian ini, Rasullah SAW. Menyatakan dalam sebuah hadistnya yang diriwayatkan oleh abu hurairah, sebagai berikut:
اَلْمُسْلِمُ أَخُواْلمُسْلِمِ لَايَظْلِمُهُ وَلَايَخْزُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّأَنْيَحْقِرَأَخَاهُ اْلمُسْلِمَ كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى اْلمُسْلِمِ حَرَامٌ مَالُهُ وَدَمُهُ وَعِرْضُهُ إِنَّ اللّهَ لَايَنْظُرُإِلَى صُوَرِكُمْ وَأَجْسَادِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُإِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ، اَلتَّقْوى ههُنَااَلتَّقْوى ههُنَا، اَلتَّقْوى ههُنَا، يُشِيْرُاِلَى صَدْرِهِ اَلَالَايَبِعْ بَعْضَكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوْاعِبَادَاللّهِ إِخْوَانًاوَلَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَأَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ. {أخرجه الستة، وهدااللفظ لمسلم}
Artinya: “Seseorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, tidak boleh menzolimi, merendahkan dan menghinanya. Sesungguhnya jahat atau tercela orang muslim yang menghina saudara muslim lainnya. Setiap muslim di haramkan mengambil harta, darah, dan kehormatan muslim lainnya. Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan badan kamu sekalian. Akan tetapi, Dia melihat dari hati dan perbuatan kamu sekalian. Taqwa itu berada disini 3x sambil beliau menunjuk dadanya. Ingatlah, jangan ada sebagian diantara kamu yang menjual sesuatu yang masih berada dalam tanggungan sesamanya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara, dan jangan seseorang muslim menghindari muslim lainnya (untuk tidak tegur sapa ) lebih dari 3 hari.
(Hadist ini di keluarkan oleh 6 orang dan matannya dari Muslim).


Kandungan pemahaman hadits
Perdamaian atau kesepakatan itu dapat dilakukan dalam berbagai hal, kecuali dalam usaha-usaha untuk menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal, seperti perdamaian untuk membagi harta, perdamaian untuk menghentikan permusuhan, dll.
1.      Perdamaian sempat dilakukan untuk semua orang, seperti perdamaian antara orang muslim dan non muslim, perdamaian antara suami istri, perdamaian antara pembangkang/pemberontak dengan para penegak keadilan, dll
2.      Didalam perdamaian, ada dua syarat yang harus di tepati oleh kedua belah pihak yang berdamai, yaitu : pertama, kedua belah pihak yang berdamai sama-sama menyepakati dan rela dengan perdamaian tersebut, tanpa dibarengi oleh paksaan dan tekanan-tekanan tertentu. Kenyataan ini didasarkan pada kata boleh yang ada didalam hadits di atas. Kedua, kedua belah pihak yang berdamai harus konsisten dan konsekuen serta tidak boleh menghianati isi perdamian tersebut.
Tinjauan rawi hadits
Amru bin Auf Al-Muzani adalah Ktsir bin Abdullah bin Amru bin Auf bin Zaid bin Malhah Al-Yasyhuri Al-Mudzani Al-Madani. Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya, Muhammad bin Ka’ab Al-furdzi, Nafi’ Mula Ibnu Umar dll. Adapun orang-orang yang meriwayatkan darinya adalah Yhya bin Said Al-Anshari, Abu Uaish, Zaid bin Habbab, ddl. Menurut Ibnu Saad, Amru Ibnu Auf termasuk sahabat yang sedikit meriayatkan hadits. Akan tetapi, mengenai kuantitasnya dan keterangan identitas lainya, penulis belum menemukan informasai secara lengkap.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dakwaan adalah kata dari “Dakwa” atau “Dakwaan”. Yaitu, “Da’wa” (Bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘awa, yaitu, menyandarkan kepemilikan sesuatu yang berada ditangan orang lain atau di bawah tanggung jawab orang tersebut kepada dirinya. Selain itu Pembuktian yaitu, semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti merupakan suatu hujjah bagi orang yang mendakwa atas  dakwaannya. Macam-macam dakwaan meliputi: pengakuan, Sumpah, kesaksian, dan dokumen-dokumen tertulis yang menyakinkan.
Sedangkan Perdamaian yaitu melakukan perjanjian yang menghantarkan kepada kesepakatan dianatar kedua belah pihak yang bertikai demi memutuskan pertikaian. Dan perdamaian dibolehkan oleh al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Ulama, Qiyas.


















DAFTAR FUSTAKA
·         Abdurrahman. 2005. 99 Hadits utama, bukhari, muslim (mutafaq alaih). Jakarta:Akademika pressindo.
·         Drs. Taufik Rahman, M.Ag. 2002 Hadis Hadis Hukum. Cv Pustaka Setia. Bandung.






















hadis tentang Imarah pemimpin




TUGAS MAKALAH

HADIS HUKUM KELUARGA
“IMARAH”


O
L
E
H
KELOMPOK 7

                                    ZAHRATUL AENI               : 1502121378
                                    ENDANG SAKINA WATI  : 1502121396




JURUSAN AKHWAL AL SYAKSHIYAH FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2016-2017
 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN IMARAH
            Imarah yang berarti keamiran yaitu pemerintahan, pengertian ini tidak jauh berbeda dengan Imamah, hanya saja perbedaannya ditinjau dari segi penggunaannya. Imarah merupakan sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir.
Penggunaan kata imarah ini pertama kalinya diberikan kepada khalifah ke-2 yaitu Umar bin Khattab yang bergelar amirul mukminin. Umar tidak mau menyebut dirinuya sebagai khalifah. Umar mnyuruh agar mneyapa dia dengan sebutan amir al-mu’minin yang kemudian menjadi gelar standar dan umum digunakan untuk menyebut khalifah-khalifah sesudahnya. Gelar amir berasal dari kata amara yang berarti memerintah. Dalam bahasa Arab amir berarti seseorang yang memerintah, seorang komandan militer, seorang gubernur provinsi, atau putra mahkota.
Pada masa Dinasti Umayyah gelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerah propinsi yang juga disebut wali (hakim, penguasa, pemerintah). Tugasnya pun mulai dibedakan dan didampingi oleh pejabat yang diangkat. Pada masa Dinasti Abbasiyah, penguasa daerah atau gubernur juga disebut amir. Umumnya tugas amir pada periode ini mengelola pajak, mengelola administrasi urusan sipil, dan keuangan.
Pergantian kekuasaan dari Bani Umayyah ke tangan dinasti Abbasiyah memunculkan satu fenomena baru yang belum pernah dikenal dalam tradisi Islam sebelumnya. Fenomena tersebut terkait pergeseran konsepsi mengenai makna Khalifah. Pada masa Umayyah para penguasa hanya menganggap jabatan khalifah adalah jabatan politis semata, tanpa pretensi bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Hal ini dinyatakan dengan pemberian gelar kepada penguasa sebagai Khalifah Rasulullah atau Amirul Mu’minin. Ketika kekuasaan ada pada tangan Bani Abbasiyah konsepsi seputar khalifah bergeser menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang mengurusi masalah-masalah umat Islam secara keseluruhan. Kekuasaan Khalifah dengan konsepsi yang baru ini menjadi tidak terbatas, karena mereka merasa mendapatkan mandat dari Tuhan untuk berkuasa penuh atas kaum Muslim
Pada awal pemerintahan Islam, masa Rasul SAW, al Khulafur Rasyidin, penguasa daerah disebut amir (pekerja, pemerintah, gubernur). selama pemerintahan Islam di Madinah, para komandan militer, komandan divisi militer disebut amir, yaitu amir al-jaisy atau amir al-jund.
Pada masa Dinasti Umayyah gelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerah propinsi yang juga disebut wali (hakim, penguasa, pemerintah). Tugasnya pun mulai dibedakan dan didampingi oleh pejabat yang diangkat. Pada masa Dinasti Abbasiyah, penguasa daerah atau gubernur juga disebut amir. Umumnya tugas amir pada periode ini mengelola pajak, mengelola administrasi urusan sipil, dan keuangan.[1].

B.     LARANGAN DALAM MEMINTA JABATAN
1.      Hadis Mengenai Larangan Bagi Seseorang Dalam Meminta Jabatan

وعن أبي هريرة قال : قال رسؤل االله صالي االله عليه ؤسلم : إنكم ستحر صو ن علي الاءمارة وستكو ن ند امة يو م ا لقيا مة فنعمت المر ضعة و بست الفا طمة. [ رواه البخاري ] ستحر صون علي  الاءمارة   الولاية   

            “Diriwayatkan dari Abu Hurairh r.a dia berkata,“ rasulullah SAW. bersabda                      “Sesungguhnya kamu sekalian sangat menginginkan kepemimpinan dan akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Sesungguhnya kepemimpinan adalah kehidupan yang paling menyenangkan, tetapi membawa akibat yang paling jelek dalam kematian
( H.R. Al-Bukhari)[2]

      Dan dalam hadis lain juga disebutkan mengenai masalah imarah

عن عبد الر حمن بن سمر ة رضي الله عنه قال : قال النبي صلي الله عليه وسلم : يا عبدالر حمن بن سمر ة لا تسأ ل ا لاءمارة فا نك إن أ و تيتها عن مسأ لة و كلت إ ليها وإن أوتيتها عن غير مسهأ لة أ عنت عليها.[اخر جه البخا ري ]


      “Dari Abdurrahman bin samurah r.a, dia berkata, rasulullah SAW. Bersabda,” wahai Abdurrahman Bin Samurah, janganlah engkau meminta imarah ( jabatan ), karena jika engkau dimintai imarah dengan dasar permintaan, maka engkau akan menanggungnya sendiri. Jika engkau diserahi imarah bukan Karena permintaan, maka engkau akan ditolong untuk mengurusnya. Jika engkau bersumpah dengan suatu sumpah, lalu engkau melihat selainnya yang lebih baik lagi maka bayarlah denda sumpahmu dan lakukan pekerjaan yang lebih baik dari sumpah itu. ( H.R. Bukhari-Muslim)
Hadis ini diriwayatkan oleh bukhari (6622) dan muslim (3/1273-1274)

2.      Kajian Kebahasaan
a.       ( ستحر صون علي  ), merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan kecintaan jiwa manusia. Bila dikaitkan dengan kata (imarah) ini menunjukkan sifat manusia yang merupakan kecintaan terhadap kekuasaan
b.      (  الاءمارة), berarti (  الولاية) atau kekuasaan. Ahli bahasa yang lain mnejelaskan bahwa istilah ( ا لاءمارة) itu berbentuk muannas dalam lafaz, namun tidak dalam makna.

3.      Penjalasan Umum
            Hadits di atas menerangkan bahwa orang yang meminta jabatan kepemimpinan secara tamak dia akan ditinggalkan orang dan tidak mendapatkan dukungan mereka karena ketamakan atau kerakusannya. Hal ini karena orang yang memiliki sifat tamak dan rakus dalam hal ini adalah masalah kepemimpinan, dia akan melihat jabatan kepemimpinan sebagai lahan mata pencaharian untuk memperoleh apa yang diinginkannya.
            Kenyataan ini dilegitimasi oleh pernyataan hadis rasulullah saw yang dikeluarkan oleh abu daud dari abu hurairah  “barang siapa meminta (jabatan) untuk mengurusi permasalahan urusan orang-orang muslim kemudian dia memperolehnya, apabila keadilanya dapat mengalahkan ketidakjujurannya, maka baginya syurga, dan apabila ketidakjujurannya dapat mengalahkan keadilannya maka baginya neraka.”
            Apabila seseorang dianggap tidak mampu merealisasikan sikap yang akan membawa dirinya untuk memperoleh dukungan social dan pertolongan Allah yakni keadilan orang tersebut tidak layak untuk dijadikan pemimpin.

4.      Pemahaman Kandungan Hadits
            Ada beberapa pemahaman mengenai kandungan hadits diatas diantaranya adalah:
a.       Memberikan jabatan pemerintahan atau jabatan penting lainnya kepada orang yang tamak untuk memperolehnya.
b.      Tidak ada larangan bagi orang yang sanggup berlaku adil untuk mengajukan dirinya sebagai pemimpin yang akan mengurus permasalahan umat.
c.       Pertolongan allah dan dukungan umat akan datang kepada mereka (para pemimpin) yang bertekad untuk menegakkan keadilan.
d.      Berbagai masalah harus diserahkan kepada orang yang layak dan ahli dalam menyelesaikannya.

5.      Kekuatan Sanad Dan Matan
            Abu hurairah adalah Abdurahman Bin Shakha Al-Yamani Al-Dausi. Abu hurairah masuk islam pada tahun ke7 H. dia meriwayatkan hadits sebanyak 5374 hadits oleh karena itu dia termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Beliau wafat pada tahun 59 H dalam usia 78 tahun dan dimakamkan dimadinah.
            Abdurrahman Bin Samrah Bin Habib Bin Abd Syams Al-‘Absyiami Abu Sa’id adalah sahabat yang masuk islam pada hari penaklukan kota mekkah. Menurut satu pendapat namanya adalah abd talam dan pendapat lain menyangkalnya. Nabi saw menyebutnya abud ar-rahman. Dia tinggal di bashrah dan dialah yang mebuka atau menaklukkan sijistan, kabil, dan lain-lain. Abud ar-rahman juga termasuk sahabat yang mengikuti perang mutah. Dia meriwayatkan hadits dari mu’adz bin jabbal dan dari nabi saw. Adapun orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya, diantaranya adalah hibban bin umair, abd ar-rahman bin abi ya’la, hisban bin kahin, al-hasan bashri, abu lubaid lumazah, dan lain-lain. Abd rahman meninggal dunia pada tahun 50 H.

C.     KEWAJIBAN UNTUK TAAT KEPADA PEMIMPIN
1.      Dalil Mengenai Keharusan Taat Kepada Pemimpin
            Ketaatan kepada imam dan ulil amri itu tidak berdiri sendiri, tetapi bertaut dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul saw. (QS an-Nisa’ [4]: 59).
يا يهاالذين امنوااطيعواالله واطيعواالرسول واولى الامرمنكم فان تنازعتم في شيءفردوه الى الله والرسول ان كنتم تومنون باالله اليوم الاخر  ذ لك خيرواحسن تا ويلا
Artinya:
            wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul ( Muhammad ), dan ulul amri ( pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah ( Al-qur’an ) dan rasul ( sunahnya ), jika kamu beriman kepada Allah pada hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama ( bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2.      Hadis Mengenai Keharusan Taat Kepada Pemimpin
Dan dalam hadis Rasul saw. Rasul saw. menegaskan:
السَّمْعُ وَالطَّاعَة عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لمَ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلا سَمْعَ وَلاَ طَاعَة
Artiny
            “Mendengar dan taat itu wajib atas seorang Muslim dalam apa saja yang dia sukai dan dia benci selama dia tidak diperintahkan bermaksiat. Jika diperintahkan bermaksiat maka dia tidak boleh mendengar dan taat” (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
            Jadi sudah jelas sekali dalam konteks ayat ini bahwa kita harus menurti perintah dari seorang pemimpin selama perintahnya itu tidak bertentangan dengan syariat islam, namun ketika pemimpin itu memnerikan perintah da perintahnya itu bertentangan dengan perintah Allah, maka kita setidaknya menegurnya, dan jika dengan teguran si pemimpin tidak mau menurutinya, maka dalam masa yang dewasa ini kita melakukan orasi sebagai masyarakat, namun tentu saja ketika kita melakukan orasi jangan sampai membuat kekacauan yang akan merugikan warga lain. Dan ketika kita sudah melakukan orasi dan belum juga ditanggapi oleh pemimpin yang zalim maka kita sebagai masyarakat yang mayoritasnya muslim bisa menggulingkan kepemimpinannya.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
            Jadi disini bisa kita ambil kesimpulan bahwa dimana jika seseorang yang haus akan kekuasaan dan kepemimpinan maka ia harus bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap apa yang dipimpin, dan dimana meminta suatu jabaan supaya ia terpilih menjadi seorang penguasa maka ia hanya akan menerima kenikmatan dunia namun itu akan menjadi hal yang paling jelek di kehidupan akhiratnya, namun jika ia dipilih oleh rakyat untuk menjadi seorang oemimpin maka Allah akan menolongnya, karena ketika seorang dipilih untuk menjadi seorang pemimpin maka itu berarti rakyat sudah percaya kepadanya dan dia termasuk orang yang terbaik diantara yang lainnya.
            Dan juga sebagai rayat kita juga dianjurkan dalam menaati seorang pemimpin, karena seorang pemimpin merupakan orang yang bertanggung jawab penuh akan kehidupan rakyatnya. Nanun itu berlaku apabila si pemimpin keluar dari syariat islam maka perintah dari seorang pemimpin itu tidak harus kita turuti.



DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Taufik.  2000. Hadis-Hadis Hukum. Bandung: Pustaka Setia.


[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2014/11/01/akidah-islam-asas-pemerintahan-dan-ketaatan/
[2] Taufik rahman, hadis-hadis hukum, (bandung, pustaka setia, 2000). Hal. 203

Lanta Mantika

Disana aku dilahirkan disana aku dibesarkan disana pula aku hidup dan beraktivitas. tapi.. semua telah berubah  ketika aku mu...