MAKALAH
HADITS HUKUM KELUARGA
“TENTANG DAKWAAN, PEMBUKTIAN DAN PERDAMAIN”
DISUSUN OLEH
KELOMPOK : 6
NAMA :
NIM :
ENDANG SAKINA WATI 1502121396
YUNIARTI 1502121379
IIN HIDAYATUL AULIA 1502121393
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tidak dapat di pungkiri bahwa setiap
manusia pastinya memiliki suatu perselisihan yang terjadi di antara umat
manusia. Di mana setiap manusia menuntut sesuatu terhadap orang lain. Terutama
umat islam, sehingga sangat dibutuhkan suatu hukum yang dapat mengatur jika
terjadinya suatu perselisihan antara sesama manusia.
` Di samping itu, Rasulullah
memberitakan tentang tingkah laku manusia yang apa bila di biarkan tanpa hukum
yang mengatur dan dibebaskan untuk mendakwa secara sembarangan, maka tentu
setiap orang akan melakukan hal itu tanpa haq. Oleh karena itu setiap manusia
dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antara ummat manusia, islam
telah memberikan beberapa konsep dasar untuk membantu menyelesaikan
permasalahan yang terjadi.
Untuk itulah, tulisan ini
dihadirkan. Tetapi tentu saja pada tulisan ini tidak dapat menguraikan secara
lengkap dan detail setiap rincian dakwaan, pembuktian, dan perdamain, namun setidaknya
apa yang akan di paparkan disini dapat memberikan gambaran tentang seluk beluk
dakwaan, pembuktian, dan perdamaian. Pada bagian akhir tulisan ini, penulis
juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh setiap
manusia untuk selalu “Mendamaikan” umat muslim di muka bumi ini dengan
hukum-hukum islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dan hadis Dakwaan, Pembuktian, dan Perdamaian?
2. Apa saja
macam-macam pembuktian?
3. Bagaimana Kandungan pemahaman hadis dan tinjauan rawi hadis?
C. Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian dan Hadis Tentang Dakwaan, Pembuktian, dan Perdamaian!
2. Untuk
Mengetahui Apa saja Macam-Macam Pembuktian
3. Untuk
Mengetahui Bagaimana Kandungan Pemahaman Hadis dan Tinjauan Rawi Hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A . Dakwaan dan
Pembuktian
Kata “Dakwa” atau “Dakwaan”
asalnya dari bahasa arab, yaitu dari kata “Da’wa” (bentuk jamaknya
‘ad-Da-‘awa). Yaitu, menyandarkan ( mengklaim) kepemilikan sesuatu yang
berada di tangan orang lain atau di bawah tanggung jawab orang tersebut kepada
dirinya.
Hadits tentang
Dakwaan dan Pembuktian:
عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ : لَوْيُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى
نَاسٌ دِمَاءَرِجَالٍ وَأَمْوَالَه وَلَكِنَّ الْيَمِيْنَ عَلَى الْمُدَّعَى
عَلَيْهِ. [متفق عليه]
“Dari Ibnu Abbas ra. Bahasanya Nabi SAW
bersabda : seumpamanya orang-orang diberi sesuatu hanya cukup dengan dakwaan
mereka, niscaya orang-orang mendakwakan darah dan harta orang lain akan tetapi
bagi yang didakwa berhak bersumpah.
Menurut
asbabul wurudnya, ada dua orang yang berperkara dan keduanya berani angkat
sumpah, untuk itu hak sumpah masing-masing di adakan pilihan, maka siapa yang
terpilih atau keluar undiannya itulah yang berhak angkat sumpah dan di nyatakan
menang atau benar perkaranya
Hadits
di atas menjelaskan mengenai penyelesaian kasus perselisihan yang terjadi di
antara dua orang yang salah seorang di antara mereka )(اَلْمُدٌعَى mengaku bahwa haknya terampas oleh yang
lainnya (اَلْمُدَّعى
عَلَيْهِ). Berkenan dengan hal ini, Nabi SAW. Menjelaskan bahwa orang
yang mengaku bahwa haknya terampas oleh orang hendaknya dia memberikan bukti (اَلْبَيِّنَةُ) yang dapat membenarkan dan menguatkan
pengakuannya itu. Apabila orang yang mengaku haknya terampas tidak dapat
memberikan bukti-bukti tersebut, hendaknya orang yang tertuduh merampas hak itu
menyampaikan sumpah untuk menolak apa yang dituduhkan kepadanya sehingga sumpah
berada di pihaknya. Keberadaan sumpah tersebut dapat menguatkan posisinya
sebagai orang yang terbebas dari tuduhan.
Hukum-hukum
pembuktian (Ahkam al-hayyinat) sama seperti halnya hukum-hukum islam
lainnya, merupakan hukum-hukum syara’ yang di gali dari dalil-dalil yang
bersifat rinci. Bayyinat (pembuktian) kadang-kadang terjadi pada kasus pidana
(‘uqubat), kadang-kadang terjadi pula pada kasus-kasus perdata (mu’amalat).
Bukti
adalah, semua hal yang bisa membuktikan
sebuah dakwaan. Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaanya.
Macam-macam
Pembuktian:
1.
Pengakuan
2.
Sumpah
3.
Kesaksian
4.
Dokumen-dokumen
tertulis yang meyakinkan.
Adanya bukti dipihak yang mengaku
haknya terampas dan adanya sumpah di pihak orang yang tertuduh mengandung
hikmah bahwa seandainya semua orang yang mengaku-ngaku itu di berikan
kesempatan untuk memperoleh apa yang diakuinya tanpa ada bukti dan begitu pula
orang yang tertuduh mengelak tuduhan tersebut tampa ada sumpah, maka
orang-orang yang merasa tidak diawasi oleh Allah dan tidak merasa takut kepada
siksa-nya akan merampas hak orang lain dengan sekehendak hatinya, baik hak
berupa kekayaan maupun jiwa.
Namun
demikian, Allah yang maha bijaksana dan maha mengetahui telah menetapkan
berbagai aturan dan sanksinya bagi orang-orang yang menganggap remeh terhadap
masalah kejahatan perampasan hak orang lain sehingga tidak mudah bagi seseorang
untuk mengaku dan menolak sekehendak hatinya. Dengan berbagai aturan dan
berbagai sanksinya itu.
Menurut Ibnu Daqiq
Al-‘id, hadits diatas menunjukkan bahwa penetapan hukum harus ditentukan
berdasarkan ketetapan syara’, meskipun seorang mudda’i lebih mengarahkan pada
kebenaran terhadap pengakuannya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dari Rasulullah SAW dengan
lafaz:
ولِلْبَيْهَقِيِّ
بِاسْنَادٍ صَحِيح : اَلبَيِّنَةُ عَلَى اَلْمُدَّ عِي , وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ
أَنْكَرِ
Menurut
riwayat Baihaqi dengan sanad shahih:“Bukti itu (wajib diadakan) bagi penggugat
dan sumpah itu (wajib dilakukan) bagi orang yang ingkar. ( HR. Al-Baihaqi).
Hadis
ini kedudukannya besar sekali. Merupakan sumber dasar peradilan dan hukum,
dimana peradilan antara manusia itu hanya ada ketika terjadi perselisihan,
seseorang mengaku bahwa sesuatu itu merupakan hak-nya, tetapi kemudian
diingkari oleh lawannya. Atau seseorang mengaku bebas dari suatu tuntutan yang
dikenakan padanya.
Nabi
SAW menjelaskan hukum pokok yang dapat memecahkan perselisihan diantara mereka,
sehingga jelas siapa yang melakukan kebenaran dan siapa yang melakukan
kebatilan. Orang yang mengaku memiliki suatu barang, menuduh seseorang
berutang, menuntut suatu hak dan akibat-akibatnya pada orang lain, namun orang
yang dituduh itu mengingkarinya, maka asal pokok barang-barang itu adalah milik
orang yang mengingkari tersebut. Orang yang
menuduh (menggugat) ini apa bila dapat mendatangkan bukti-bukti yang dapat
menunjukkan kebenaran pemilikannya. Sedangkan apabila tidak memperoleh
bukti-bukti, maka ia bukan pemilik barang yang dikuasai orang yang digugat itu,
kecuali setelah disumpah yang merupakan alat pembuktian pula.
Begutu
pula orang yang terbebas dari kewajiban yang harus ditanggungnya dan diingkari
oleh pemegang hak (tergugat), dengan katanya “ia tetap merupakan
tanggungjawabnya”, maka apabila penggugat memiliki bukti-bukti bahwa ia
telah menunaikan (kewajiban itu), maka ia bebas. Sedangkan apabila tidak ada
bukti, maka orang tersebut tetap berkewajiban menunaikan tanggungannya karena
itu merupakan asal pokoknya. Tetapi, si pemegang hak (tergugat) itu juga harus
disumpah atas tetapnya kewajiban itu.
Begutu
pula halnya dalam menuduh adanya aib (cacat) , syarat dan waktu, semuanya
termasuk dalam masalah ini. Maka diketahui bahwa hadits ini mengharuskan para
hakim untuk memutus masalah peradilan seluruhnya karena bukti-bukti merupakan
alat bagi penjelas kebenaran dan ia berbeda sesuai dengan berbedanya hak dan
kewajiban. Para ulama telah merincinya dalam buku-buku mereka.
B. Perdamaian
Sebelum masuk ke Hadits tentang perdamaian ada baiknya jika kita
mengetahui apa itu perdamaian.
Secara etimologi adalah memutuskan pertikaian. Dan secara
terminelogi perdamaian adalah melakukan perjanjian yang menghantarkan kepada
kesepakatan diantara kedua belah pihak yang bertikai demi memutusakan
pertikaian.
Dan perdamaian dibolehkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ ulama’ dan
Qiyas. Seperti firman allah SWT. “ dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka).” (Qs, An-Nisa’ : 128)
Dan terdapat pula hadits dalam sunan At-Tirmidzi dari hadits Abu
Daud, sesungguhnya Nabi saw bersabda:
عَنْ
عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ اْلمُزَنِبِّى رَضِييَ اللّهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللّهِ
صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ قَالَ: الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ اْلمُسْلِمِيْنَ
إِلَّاصُلْحًا حَرَّمَ حَلَا لاًأَوْأَحَلَّ حَرَا مًا, وَاْلمُسْلِمُوْنَ عَلَ شُرُوْ
طِهِمْ اِلَّاشَرْطُاحَرَّمَ حَلَا لاً أَوْأَحَلَّ حَرَامًا.
Diriwayatkan dari Amru
bin auf al mazni Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perdamaian ( membuat kesepakatan) itu di perbolehkan
diantara orang-orang muslim, kecuali perdamaian (kesepakatan) untuk
mengharamkan sesuatu yang halal atau mengahalalkan sesuatu yang haram.
Orang-orang muslim (dalam perdamaian tersebut) bergantung pada syarat-syarat
mereka, kecuali satu syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau
menghalalkan sesuatu yang haram.”
(Hadist
riwayat At Tirmidzi dan dia menilainya
sahih, tetapi ahli hadist mengingkari hadist ini, karna seorang rawinya bernama
Katsir bin abdullah bin amr bin auf dianggap perawi yang lemah).
1.
Kajian
kebahasaan yakni semua perdamaian,
kecuali yang terlarang yaitu perjanjian menghalalkan yang haram dan mengaramkan
yang haram.
2.
Ini
adalah ungkapan khusus yang sebenarnya berlaku bagi semua orang, baik
orang-orang muslim maupun non muslim. Pengkhususdan objek syara’ terhadap kaum
muslimin ini di karenakan mereka itulah yang di bicarakan untuk merealisasikan
titah-titah alquran dan sunnah.
3.
Seperti
perdamaian kesepakatan suami istri untuk tidak menggaulinya.
4.
Seperti
perdamaian dan kesepakatan untuk menggauli seorang hamba yang tidak boleh di
gauli.
5.
Yakni
mereka harus konsisten dan konsekuen dalam perdamaian berdasarkan persyaratan
tersebut dan tidak boleh berpaling darinya
Berkenaan
dengan pembinaan persaudaraan dan perdamaian ini, Rasullah SAW. Menyatakan
dalam sebuah hadistnya yang diriwayatkan oleh abu hurairah, sebagai berikut:
اَلْمُسْلِمُ أَخُواْلمُسْلِمِ لَايَظْلِمُهُ وَلَايَخْزُلُهُ وَلَا
يَحْقِرُهُ بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّأَنْيَحْقِرَأَخَاهُ اْلمُسْلِمَ كُلُّ
اْلمُسْلِمِ عَلَى اْلمُسْلِمِ حَرَامٌ مَالُهُ
وَدَمُهُ وَعِرْضُهُ إِنَّ اللّهَ لَايَنْظُرُإِلَى صُوَرِكُمْ وَأَجْسَادِكُمْ
وَلَكِنْ يَنْظُرُإِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ، اَلتَّقْوى
ههُنَااَلتَّقْوى ههُنَا، اَلتَّقْوى ههُنَا، يُشِيْرُاِلَى صَدْرِهِ
اَلَالَايَبِعْ بَعْضَكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوْاعِبَادَاللّهِ
إِخْوَانًاوَلَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَأَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ. {أخرجه
الستة، وهدااللفظ لمسلم}
Artinya:
“Seseorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, tidak boleh menzolimi,
merendahkan dan menghinanya. Sesungguhnya jahat atau tercela orang muslim yang
menghina saudara muslim lainnya. Setiap muslim di haramkan mengambil harta,
darah, dan kehormatan muslim lainnya. Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk
dan badan kamu sekalian. Akan tetapi, Dia melihat dari hati dan perbuatan kamu
sekalian. Taqwa itu berada disini 3x sambil beliau menunjuk dadanya. Ingatlah,
jangan ada sebagian diantara kamu yang menjual sesuatu yang masih berada dalam
tanggungan sesamanya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara, dan jangan seseorang
muslim menghindari muslim lainnya (untuk tidak tegur sapa ) lebih dari 3 hari.
(Hadist ini di keluarkan oleh 6 orang dan matannya dari Muslim).
Kandungan
pemahaman hadits
Perdamaian atau
kesepakatan itu dapat dilakukan dalam berbagai hal, kecuali dalam usaha-usaha
untuk menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal, seperti perdamaian
untuk membagi harta, perdamaian untuk menghentikan permusuhan, dll.
1.
Perdamaian
sempat dilakukan untuk semua orang, seperti perdamaian antara orang muslim dan
non muslim, perdamaian antara suami istri, perdamaian antara
pembangkang/pemberontak dengan para penegak keadilan, dll
2.
Didalam
perdamaian, ada dua syarat yang harus di tepati oleh kedua belah pihak yang
berdamai, yaitu : pertama, kedua belah pihak yang berdamai sama-sama
menyepakati dan rela dengan perdamaian tersebut, tanpa dibarengi oleh paksaan
dan tekanan-tekanan tertentu. Kenyataan ini didasarkan pada kata boleh yang ada
didalam hadits di atas. Kedua, kedua belah pihak yang berdamai harus konsisten
dan konsekuen serta tidak boleh menghianati isi perdamian tersebut.
Tinjauan rawi
hadits
Amru
bin Auf Al-Muzani adalah Ktsir bin Abdullah bin Amru bin Auf bin Zaid bin
Malhah Al-Yasyhuri Al-Mudzani Al-Madani. Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya,
Muhammad bin Ka’ab Al-furdzi, Nafi’ Mula Ibnu Umar dll. Adapun orang-orang yang
meriwayatkan darinya adalah Yhya bin Said Al-Anshari, Abu Uaish, Zaid bin
Habbab, ddl. Menurut Ibnu Saad, Amru Ibnu Auf termasuk sahabat yang sedikit
meriayatkan hadits. Akan tetapi, mengenai kuantitasnya dan keterangan identitas
lainya, penulis belum menemukan informasai secara lengkap.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dakwaan adalah kata dari “Dakwa” atau “Dakwaan”. Yaitu, “Da’wa”
(Bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘awa, yaitu, menyandarkan kepemilikan sesuatu yang
berada ditangan orang lain atau di bawah tanggung jawab orang tersebut kepada
dirinya. Selain itu Pembuktian yaitu, semua hal yang bisa membuktikan sebuah
dakwaan. Bukti merupakan suatu hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Macam-macam dakwaan meliputi:
pengakuan, Sumpah, kesaksian, dan dokumen-dokumen tertulis yang menyakinkan.
Sedangkan Perdamaian yaitu melakukan perjanjian yang menghantarkan
kepada kesepakatan dianatar kedua belah pihak yang bertikai demi memutuskan
pertikaian. Dan perdamaian dibolehkan oleh al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, Ulama, Qiyas.
DAFTAR FUSTAKA
·
Abdurrahman.
2005. 99 Hadits utama, bukhari, muslim (mutafaq alaih). Jakarta:Akademika
pressindo.
·
Drs.
Taufik Rahman, M.Ag. 2002 Hadis Hadis Hukum. Cv Pustaka Setia. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar